Selasa, 05 Juli 2011

AYO RUKUN



“Garuda di dada ku Garuda kebangsaan Ku, Ku yakin, hari ini pasti menang”

Sebuah potongan lagu yang menghentak semangat kebangsaan berulang-ulang dinyanyikan oleh seluruh penonton laga Final Piala Asean Football Federation (AFF). Kala itu di final Indonesia melawan Malaysia. Gegap gembita penonton diungkapkan lewat kostum, nyanyian dan emosi akan rasa cinta terhadap negeri, Bangsa Indonesia. Tidak hanya di Gelora Senayan, Jakarta, tapi di rumah, di kantor, di hotel bahkan di gang-gang sempit semua menggelorakan semangat Indonesia. Sunda, Jawa, Batak, Padang, warga keturunan tumpah-ruah menjadi kekuatan satu, bangsa dan negara Indonesia. Mereka tidak mengenal batas agama, batas suku, batas partai, batas daerah, batas kota, batas geng, batas kubu, yang ada hanya satu Indonesia. Wah! bangganya menjadi Bangsa Indonesia. Andai saja kekuatan kecintaan ini dipakai untuk membangun bangsa, dimana kepentingan bangsa diatas kepentingan lainnya. Kemungkinan besar Indonesia akan selevel dengan negara-negara yang sudah sejahtera. Sayang seribu kali sayang, peristiwa tersebut sangat berbanding terbalik dengan kejadian penyerbuan warga Ahmadiah di Tanggerang serta pembakaran gereja di Temanggung, Jawa Tengah. Kerusuhan berbasis sentimen agama tentu membuat kita miris. Padahal hidup di Indonesia, kita harus menerima dengan ke-heterogenan yang sudah menjadi sunnatullah. Dalam ajaran Islam, kita harus menerima perbedaan tapi tetap teguh memegang prinsip, seperti Firman Allah QS-Al-Kafirun yang berjumlah enam ayat. Prinsip pertama, Inna dinna indallohil Islam yang berarti Islam adalah agama yang terbaik. Oleh karena itu, kita memeluk agama Islam. Namun itu kata orang Muslim, bagi yang beragama lain tentu agama mereka lah yang paling baik. Ini kita harus menerima dan tidak perlu diperdebatkan titik. Jadi my religion is the best and your religion is okay. Prinsip kedua, tidak menyembah apa yang mereka sembah. Setiap agama tentu memiliki apa yang disembah serta cara menyembahnya. Ini pasti akan berbeda-beda, Ini juga tidak perlu diperdebatkan, silahkan mereka menyembah dengan apa dan cara mereka sembah. Begitu juga, kita tidak perlu memaksakan mereka untuk menyembah dengan cara-cara seperti kita. Prinsip ketiga, Untuk mulah agamamu dan untukkulah agamaku. Prinsip ketiga ini lah menjadi kunci kerukunan beragama. Kia tidak perlu menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama. Menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama baik terang-terangan maupun secara halus atau sembunyi-sembunyi akan menjadi ruang bagi terjadinya gesekan ketidak-rukunan beragama. Untuk itu marilah senantiasa kita menghormati intra dan antar umat beragama. Jadikan perbedaan menjadi kekuatan bukan kelemahan. Bukankah dasar negara kita adalah Pancasila serta motto atau semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika? Kalau ngaku bangsa Indonesia, kalau ngaku orang Islam, mari kita bertoleransi agar hidup rukun, damai dan sejahtera. (BA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar